Saturday, October 27, 2007

SAVI

Melibatkan Seluruh Indera dalam Belajar

Ia seorang guru yang ganjil. Tak seperti pengajar lain yang cuma duduk di mejanya sambil meminta sang murid membaca lembar tertentu sebuah mata pelajaran atau mencoret-coret sesuatu di papan tulis sementara di belakang punggungnya bocah-bocah itu tertawa cekikikan. Ia memilih menghampiri meja, lalu ups... melompat ke atasnya. Para murid itu terpana dan seolah menahan napas. Ada apa?

Profesor Keating, guru bahasa Inggris dalam film Dead Poets Society (1989) itu memandang ke bawah ke arah mereka. "Di sini ada pemandangan yang berbeda," ucap Keating sembari mengajak muridnya itu untuk bergiliran menaiki meja.

Pada saat yang lain Keating mengajak mereka ke lapangan bola. Setiap murid mendapat kesempatan menendang bola. Tapi sebelum menendang bola kuat-kuat, setiap siswa harus terlebih dulu membaca satu petikan puisi di tangannya. Siswa setingkat SMA di New England Inggris yang dikenal sangat konservatif itu pun menjadi mengenal dan pada akhirnya bisa menikmati puisi-puisi seperti sajak Walt Whiltman atau karya-karya Shakespeare.

Keating, pendeknya, menyajikan satu mata pelajaran menjadi sebuah game yang menyenangkan. Ia menyuguhkan suasana baru yang tak lazim dan menghancurkan kultur instruksional yang selama ini berlangsung di kelas, kendati itu dianggap melawan kebakuan-kebakuan yang sudah turun-temurun diterapkan di sekolah.

Para siswa pun menjadi terangsang dan bahkan tertantang untuk mengeksplorasi apapun potensi yang ada dalam dirinya. Ia bisa mengajukan pikiran-pikirannya dengan bebas. Ia bisa berdiskusi atau bahkan mengkritisi apa yang disampaikan sang guru. Ia juga dengan dini bisa menanamkan sikap optimis dalam memandang dan menyelesaikan segala hal. Tak ada yang tak bisa diraih. "Carpe Diem (raihlah)," begitu Keating menanamkan motivasi pada murid-muridnya.

Ini memang sebuah cerita film yang dibintangi dengan hebat oleh Robin Williams dan disutradarai dengan sangat baik oleh Peter Weir. Sekali lagi, itu hanya sebuah film. Tapi layaknya baru saja siuman dari sebuah mimpi yang mencerahkan, apakah tak mungkin sebuah pemandangan yang sama, atau katakanlah sejenis, bisa kita lihat dalam panggung pendidikan kita?

Dr Jeanette Vos dan Gordon Dryden, penulis buku Revolusi Cara Belajar yang kini laku jutaan buku di berbagai belahan dunia menemukan antara lain data buruknya mutu pendidikan di banyak negara. Di Inggris, misalnya, keduanya mencatat kenyataan pahit bahwa di sekolah-sekolah terburuk di Inggris, anak-anak berusia 11 tahun rata-rata memiliki kemampuan membaca setingkat anak-anak berusia 5 tahun.

Data lain yang mereka temukan adalah para guru masih memegang orientasi pendidikan lima puluh tahun lalu yang telah jamuran: 20 persen mendidik untuk menjadi pekerja profesional, 30 persen untuk masuk ke dunia perdagangan dan kerja administratif dan membiarkan 50 persen sisanya menjadi pekerja pertanian yang tidak terdidik. Mereka bilang semestinya, "model sekolah lama (semacam itu) telah mati bersama runtuhnya era revolusi industri yang melahirkan metode tersebut."

Vos yang doktor di bidang pendidikan dan Dryden yang menjadi praktisi media mengajukan sebuah tesis --yang jika divisualkan dalam film seperti apa yang dilakukan Keating itu-- tentang bagaimana merombak metode belajar yang selama ini dipakai menjadi "cara belajar dengan melibatkan seluruh indera".

Dave Meier, penulis The Accelerated Learning Handbook, memberinya nama: belajar SAVI (singkatan dari Somatis, Auditori, Visual, Intelektual). Somatis adalah belajar dengan bergerak dan berbuat. Sedangkan auditori adalah belajar dengan berbicara dan mendengar. Lalu visual adalah belajar dengan mengamati dan mengambakan. Kemudian intelektual yang dimaksud adalah belajar dengan memecahkan masalah.

Meier menunjuk contoh anak kecil sebagai pemberi pelajaran yang hebat. "Anak kecil menggunakan seluruh tubuh dan semua indera untuk belajar," ucap Meier. Karena itu, ia menilai, belajar akan selalu terhambat jika kita memisahkan tubuh dan pikiran.

Perumpamaan lain ia kemukakan. Mengapa banyak orang yang mengantuk atau tertidur lelap saat seseorang tengah berceramah? Lemahnya materi ceramah adalah salah satu sisi. Tapi sisi lain yang memberi sumbangan penting, kata Meier, karena peserta ceramah tidak diperbolehkan (atau tidak terbiasa) menggerakkan badan. "Banyak peserta kesulitan berkonsentrasi tanpa melakukan sesuatu secara fisik," katanya.

"Pemisahan tubuh dan pikiran dalam kebudayaan Barat sangat keliru. Penelitian neurologis telah membongkar keyakinan kebudayaan Barat yang salah bahwa pikiran dan tubuh adalah dua entitas yang berbeda. Temuan mereka menunjukkan bahwa pikiran tersebar ke seluruh tubuh. Tubuh adalah pikiran, begitu juga sebaliknya," ungkap Meier.

Direktur Center for Accelerated Learning di Lake Geneva, Wisconsin itu menyoroti secara khusus budaya auditori atau budaya mendengar dan melafalkan dengan suara. Mengutip cerita Dr Seuss, penulis Hooray for Diffendoofer Day, Meier mengisahkan salah seorang penjaga perpustakaan paling aneh di kampus Seuss. Tak seperti penjaga perpustakaan pada umumnya yang merasa terganggu dengan suara berisik atau justru memberi larangan berbicara keras saat orang membaca di perpustakaan, nona Loon, penjaga perpustakaan itu, justru melakukan sebaliknya.

"Nona Loon adalah penjaga perpustakaan kami. Dia bersembunyi di balik rak, dan sering berteriak, 'Bicaralah lebih keras!' ketika kami sedang membaca dalam hati," ucap Meier menirukan Seuss. Dalam posisi itu, kata Meier, penjaga perpustakaan itu yakin akan pentingnya mengembalikan cara auditori dalam kegiatan belajar.

Fuad Hasan, mantan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, menilai positif gagasan "revolusi belajar yang melibatkan seluruh indera" seperti yang diajukan Vos dan Dryden atau Meier. Tapi Fuad mengembalikan pada kesiapan guru. "Misalnya seorang guru ingin menerapkan metode A, tetapi dia tidak menguasai bahannya, tidak menguasai metodik itu, bagaimana mungkin ia bisa mengajarkannya di depan kelas?" katanya.

Menurut Fuad, bukan hanya metode mengajar yang dibutuhkan. Namun, pendekatan dalam belajar. Misalnya, seorang guru harus mengajarkan materi sejarah pada murid. "Bagaimana saya mengajarkan suatu zaman yang sudah lewat pada anak-anak sekarang. Ada lagi pendekatan utamakan dulu pada masalah-masalah aktual, sesuai dengan masa-masa sekarang. Pertanyaannya bagaimana kita membagi porsi pembelajaran dari masa lalu dengan masa sekarang. Banyak segi-segi yang harus diperhatikan dalam hal ini," katanya.

Dalam soal metode, Fuad mengatakan, yang terbaik adalah metode yang secara konsisten dilakukan oleh guru di muka kelas. Artinya, kata Fuad, "Metodik yang dihasilkan oleh talk show atau seminar atau apapun, itu boleh saja. Namun, ujung-ujungnya, tantangannya ada di muka kelas." fitri oktarini/nur hidayat/yom

0 Comments:

Post a Comment

Subscribe to Post Comments [Atom]

<< Home